Konten [Tampil]
Pagi itu, matahari baru saja naik dari balik laut Lombok. Di bibir Pantai Bintaro, suara ombak berpadu dengan sekelompok anak pra-sekolah dan TK yang menaiki panggung. Di atas panggung sederhana, terdapat 10 anak tampil dengan penuh percaya diri. Mereka bersama-sama menampilkan kepandaian masing-masing. Ada yang membacakan puisi, menyanyi, bahkan ada yang menari. Penampilan ini dilakukan di hadapan para orang tua, mereka beraksi dengan berani.
![]() |
Pembagian raport dan pentas semester (Sumber: www.sekolahpesisijuang.tanahjuang.com) |
Senyum manis tersembul dari wajah polos mereka. Mayoritas Ibu-ibu yang hadir tak henti-hentinya menunjukkan rasa kagum. Riuh tepuk tangan tanda bangga pun menghiasi ruang sederhana Sekolah Pesisi Juang. Ya, hari itu adalah pembagian rapor dan pentas semester bagi peserta didik di sekolah non formal Pesisi Juang, Kota Mataram.
Bagi sebagian orangtua, momen pembagian rapor adalah hal biasa. Tapi bagi wali murid Sekolah Pesisi Juang, inilah hasil usaha buah hatinya merajut asa. Meraih mimpi dengan modal pendidikan. Perjalanan belajar selama satu semester kini menemukan maknanya. Bukan hanya nilai rapor yang dibawa pulang, tapi rasa syukur dan bangga yang tak ternilai.
Mereka tak hanya melihat hasil belajar di atas kertas, tapi menyaksikan langsung perubahan luar biasa yang tumbuh di setiap anak. Anak yang dulunya pemalu kini tampil tanpa ragu. Anak yang dulunya tidak pandai berkata-kata, kini aktif bercanda dan bercerita. Di hari itu, hak mendapat pendidikan bukan sekadar mimpi, tapi bisa terwujud lewat sebuah aksi penuh cinta.
![]() |
Jauhari Tantowi (Sumber: Instagram.com/jauharitantowi_) |
Dialah Jauhari Tantowi, 27 tahun, pendiri Sekolah Pesisi Juang. Bersama 7 orang rekannya, ia membuat sebuah ruang belajar non-formal bagi anak-anak nelayan di pesisir Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Jauhari bukan guru bersertifikat, bukan pula pejabat atau dermawan bergelimang harta. Ia hanya seorang anak pesisir yang menolak diam ketika melihat generasi setelahnya mulai kehilangan harapan untuk bersekolah.
"Terkadang apa yang menjadikan pemuda kota pulang ke kampung halamannya bukan karena kehilangan harapan, tetapi karena mereka ingin menumbuhkan harapan di tanah kelahiran.”
Dari Rasa Keprihatinan Menjadi Sebuah Gerakan
Jauhari tumbuh di Ampenan, sebuah kawasan nelayan tua di pesisir barat Mataram. Ayahnya, almarhum Trumarnoto, adalah penduduk asli Ampenan. Ibunya, Sri Nurhayati, seorang ibu tangguh yang kerap mengingatkan agar anak-anaknya tidak menyerah pada keadaan.
Namun, realitas di kampung halamannya berbicara lain. Banyak anak pesisir berhenti sekolah lebih awal. Faktor ekonomi adalah kendala utama. Sebagian ikut membantu orang tua melaut, sebagian lagi kehilangan arah karena tiada akses pendidikan yang layak.
Titik balik itu datang pada tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 memaksa seluruh kegiatan belajar berpindah ke dunia daring. Di kampung nelayan Bintaro, anak-anak yang tak memiliki ponsel atau akses internet harus menyewa handphone hanya untuk mengikuti kelas online.
“Sewanya Rp 2.000,- per jam, tapi tidak maksimal. Anak-anak tidak ada yang mendampingi. Pendidikan orangtua mereka tidak lebih tinggi dari anaknya. Ini menjadikan sebagian anak menyerah dan bahkan berhenti sekolah,” ungkap Jauhari mengawali ceritanya.
Kenyataan itu sungguh menyesakkan. Ia tahu, ketimpangan itu bukan karena mereka tidak ingin belajar, tetapi karena sistem seolah lupa pada anak-anak di tepi laut.
![]() |
Anak-anak sedang belajar sambil bermain (Sumber: www.sekolahpesisijuang.tanahjuang.com) |
Bersama tujuh rekannya, ia pun memutuskan untuk bertindak. Dengan beralas pasti, beratap langit, mereka menyiapkan diri, membuka sekolah gratis di tepi laut Bintaro. Di situlah Sekolah Pesisi Juang lahir. Tanpa modal besar, tanpa bantuan pemerintah, hanya berbekal empati dan tekad yang menyalakan harapan.
Sekolah Pesisi Juang, Sekolah Gratis Anak Nelayan Kota di Tepi Laut Pantai Bintaro
Kini, setiap hari, Pantai Bintaro berubah menjadi ruang belajar yang hidup. Anak-anak usia dini hingga SMA duduk bersila di atas tikar, di bawah rindang pohon Bintaro. Mereka belajar membaca, berhitung, hingga menulis puisi.
Untuk pembelajaran lebih terarah, sebagai pengelola Sekolah Pesisi Juang, Jauhari membagi jadwal belajar anak. Hari senin-kami, digunakan untuk untuk mengajarkan anak-anak usia 4-6 tahun. Sedangkan hari sabtu dan minggu merupakan pembelajaran gabungan yang bisa diikuti hingga jenjang SMA.
Disinilah Sekolah Pesisi bergerak. Tak ada seragam, tak ada ruangan yang nyaman, tapi ada harapan untuk menggapai mimpi yang siap diraih.
“Kami bukan sekadar ruang belajar,” ujarnya hari itu, “Kami adalah ruang tumbuh. Tempat anak-anak pesisir bermimpi, bermain, dan bertumbuh dengan penuh cinta dan tekad.”
Melalui Kelas Belajar Pesisir, Jauhari mengajarkan banyak hal dengan cara yang menyenangkan. Belajar bukan lagi sesuatu yang membosankan, melainkan sebuah petualangan yang menyenangkan. Ia menggunakan metode permainan, mendongeng, serta kegiatan berbasis alam sebagai cara mengajar.
“Anak-anak pesisir tidak butuh kasihan. Mereka butuh ruang untuk tumbuh, untuk tahu bahwa mimpi mereka sah untuk dikejar,” katanya.
Selain kelas akhir pekan, Sekolah Pesisi Juang juga memiliki program TK Pesisi Juang bagi anak usia 4 hingga 6 tahun. Program Kakak Asuh-Adik Yatim untuk anak-anak yatim, serta Literasi Pesisir yang membiasakan budaya membaca dan menulis lewat pojok baca, kelas dongeng, dan rak buku keliling.
![]() |
Kegiatan Clean Up ketika musim libur sekolah (Sumber: www.sekolahpesisijuang.tanahjuang.com) |
Ketika libur sekolah ada pula kegiatan Clean Up Pantai dan Kelas Alam, tempat anak-anak belajar menanam, membuat kerajinan dari barang bekas, dan mencintai bumi tempat mereka berpijak. Ada juga kegiatan nonton bareng di Bioskop Rakyat Sekolah Pesisi Juang. Film anak-anak yang ditayangkan sudah dikurasi oleh Tim relawan, kemudian dilanjutkan diskusi ringan setelahnya.
Guru dan Relawan Dibayar Dengan Senyuman
![]() |
Relawan dan Tim Sekolah Pesisi Juang (Sumber: www.sekolahpesisijuang.tanahjuang.com) |
Sekolah ini hidup karena cinta banyak orang. Lebih dari sepuluh relawan tetap, hadir setiap minggu. Sebagian besar mereka adalah mahasiswa NTB, sebagian lain datang dari luar daerah. Mereka tidak digaji, namun selalu pulang dengan senang hati.
“Kami bukan guru atau profesional,” ucap Jauhari pelan. “Kami hanya orang-orang yang tak ingin diam saat melihat anak-anak terabaikan.”
Para relawan bukan hanya mengajar, tapi juga menjadi teman bercerita, tempat anak-anak belajar percaya diri. Mereka melatih komunikasi, berdiskusi, bahkan menulis bersama.
Relawan ini tidak digaji dengan uang. Tetapi mereka tetap semangat mengajar dengan giat. Karena setiap senyum yang lahir dari wajah anak-anak pesisir adalah upah tertinggi yang tak bisa diukur dengan angka.
Tumbuh dari Swadaya dan Gotong Royong Warga
Awalnya, sekolah ini benar-benar tumbuh dari donasi kecil. Sekolah Pesisi Juang memang ‘hidup’ dari dana kolektif dan swadaya masyarakat. Jauhari dan tim relawan tak pernah mengeluh soal dana.
“Kita ini bukan orang kaya,” ucapnya sembari tersenyum, “tapi kita bisa kaya karena saling membantu.”
Bertahun-tahun mereka berpindah-pindah lokasi hingga akhirnya, pada 2023, sebuah keajaiban kecil datang. Donatur yang tersentuh oleh perjuangan mereka membantu memberikan rumah sebagai ruang belajar permanen. Rumah sederhana di Jl. Moh. Ruslan, Lingkungan Bintaro Jaya disulap menjadi ruang belajar yang disebut saung. Kini anak-anak memiliki saung belajar sendiri. Tempat belajar yang sederhana, namun penuh warna dan tawa.
Gelombang Harapan yang Tak Pernah Padam
Bagi Jauhari, membangun sekolah bukanlah akhir mimpinya. Ia masih berharap memiliki lahan yang lebih luas agar bisa menampung lebih banyak anak pesisir. Ia juga bercita-cita memiliki ambulans komunitas, agar warga nelayan kota dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah.
![]() |
Program solidaritas untuk keluarga nelayan di sekitar Sekolah Pesisi Juang (Sumber: www.sekolahpesisijuang.tanahjuang.com) |
Lebih jauh, ia dan tim juga sedang menyiapkan walking tour berbasis kearifan lokal. Walking tur yang dimaksud adalah tur edukatif yang memperkenalkan sejarah kampung nelayan, kehidupan warga, serta aktivitas anak-anak di sekolah. Harapannya, ekonomi keluarga nelayan bisa ikut tumbuh dari wisata berbasis komunitas ini.
“Kalau ekonomi mereka kuat, anak-anak tidak perlu berhenti sekolah. Pendidikan dan kesejahteraan dapat tumbuh bersama,” kata Jauhari.
Dari Pantai Pinggir Kota ke Kancah Panggung Nasional
Perjalanan panjang itu akhirnya mendapat pengakuan. Tahun 2024, Jauhari Tantowi terpilih sebagai Peraih SATU Indonesia Astra Awards bidang pendidikan. Ia satu-satunya nominator dan peraih penghargaan dari wilayah Indonesia timur yang membawa kisah tentang pendidikan anak pesisir ke panggung nasional. Dirinya mengalahkan lebih dari 8.000 kandidat dari seluruh Indonesia.
"Alhamdulillah," ucapnya sederhana, “ini bukan tentang saya, tapi tentang anak-anak di Pantai Bintaro. Tentang semangat warga pesisir yang tak pernah menyerah.”
Hari itu, anak-anak di Sekolah Pesisi Juang ikut merayakannya. Mereka bertepuk tangan, bersorak, lalu menatap ombak seolah mengatakan “ Kami juga bisa!”, dengan penuh semangat yang tertanam di hati mereka.
Menjaga Api yang Telah Dinyalakan
![]() |
Anak-anak TK Sekolah Pesisi Juang (Sumber: www.sekolahpesisijuang.tanahjuang.com) |
Sore kembali turun di Pantai Bintaro. Matahari tenggelam di ufuk barat, meninggalkan semburat oranye di cakrawala. Di bawah pohon yang rindang, Jauhari duduk bersama beberapa anak, mendengarkan mereka membaca puisi kecil tentang laut dan harapan.
Ketika ditanya apa yang membuatnya terus bertahan, ia terdiam sejenak lalu berkata pelan,
"Mungkin kita tidak bisa menyelamatkan orangtua mereka, tetapi kita bisa menyelamatkan anak-anak mereka," tutupnya dengan penuh kepastian.
Di antara riuh ombak dan semilir angin laut, kalimat itu menggema lama. Sebab dari pantai kecil di ujung Mataram ini, seorang anak pesisir kota telah mengubah gelombang kesulitan menjadi sebuah harapan. Jauhari Tantowi membuktikan bahwa pendidikan bukan soal seberapa besar dana yang kita punya, melainkan seberapa dalam kepedulian kita akan pendidikan.***
#APA2025-ODOP
Referensi:
Sekolah Pesisi Juang (Diakses 10 Oktober 2025)
https://sekolahpesisijuang.tanahjuang.com/
Jauhari Tantowi Jadi Wakil NTB di 10 Finalis Ajang Nergengsi Nasional ( Diakses 09 Oktober 2025)
https://kicknews.today/jauhari-tantowi-jadi-wakil-ntb-di-10-finalis-ajang-bergengsi-nasional/
Jauhari Tantowi dan Sekolah Pesisi Juang Masuk Nominasi Penghargaan Bergengsi di Indonesia (Diakses 10 Oktober 2025)
https://www.mediadinamikaglobal.id/2025/09/jauhari-tantowi-dan-sekolah-pesisi.html
Instagram Jauhari Tantowi (Diakses 8 Oktober 2025)
https://www.instagram.com/jauharitantowi_
Instagram Sekolah Pesisi Juang (Diakses 8 Oktober 2025)
https://www.instagram.com/sekolah.pesisi.juang
Post a Comment
Post a Comment